Saturday, November 12, 2011

Part 4: Stoner vs Rossi, aliens mana yang lebih gahar?

Seperti janji saya sebelumnya, Kafemotor melanjutkan diskusi tetang Stoner vs Rossi. Tapi lagi-lagi seperti dijanjikan,  saya kali ini akan membahasnya TANPA memasukkan variabel hasil sebagai kriteria pengukuran. Untuk kawan-kawan yang masih ngebet bicara soal prestasi head-to-head, bisa baca pada analisa part 1part 2, dan part 3 . Kali ini kita akan menggunakan variabel lain, yakni cara menaklukkan tunggangan dan memenangkan balapan. Tapi jangan mabuk sebelum tuntas membaca, karena kali ini tak kalah panjang pembahasannya. So let’s the party begin!!!
Kita mulai dari konsep aliens  di MotoGp yang pernah saya bahas sebelumnya. Jika anda sepakat dengan dominasi prestasi sebagai satu-satunya ukuran, maka anda hanya memahami sebagian dari dimensi balapan yang rumit. Karena sesungguhnya di balik gelar juara dan lap time, kemampuan balaplah yang membangun dominasi seorang rider di atas rival-rivalnya. Dan, untuk keperluan diskusi kita kali ini, Stoner dan Rossi jelas aliens yang kemampuan balapnya just out of this world. Tinggal siapa yang lebih hebat?
Fitur utama dari skil balap Rossi sesungguhnya terletak pada kemampuannya memadukan teknik dengan gameplan balapan. Soal teknik, Rossi mungkin salah satu pembalap yang paling lengkap saat ini. Bahkan melebihi banyak pembalap yang mampu membalap secara textbook, Rossi sesungguhnya membuat sejumlah inovasi yang membuatnya sanggup melaju sangat kencang dan mengalahkan para seteru-nya.
Salah satu teknik yang bisa disebut adalah kemampuan melakukan underbreaking yang sangat tajam, tanpa harus kehilangan jalur racing line yang benar (apex di tikungan). Kemampuannya ini memberinya keuntungan fast-in-fast out pada tikungan-tikungan, khususnya yang membutuhkan kecepatan rendah dan menengah. Inilah skill yang digunakan Rossi untuk meladeni pembalap-pembalap yang berani late-late braking, maupun mereka yang agresif di tikungan.
Rossi bukan pembalap yang senang melakukan sliding, meskipun doi memiliki teknik rear-wheel-steering di atas rata-rata. Ini memberi keuntungan ketika balapan menjelang akhir. Rossi jago menghemat ban sehingga bisa dog-fight pada saat-saat dibutuhkan. Kenyataan ini sangat jelas pada tahun 2009 , misalnya, saat Rossi harus bertarung habis-habisan dengan Lorenzo di lap-lap akhir balapan. Jelas keuntungan ini tidak dimiliki oleh pembalap hebat lainnya, khususnya yang hanya mengandalkan late-braking ataupun agresivitas saat dog-fight.
Di samping soal teknik balap, kelebihan Rossi adalah intelegensi balap. Rossi, di atas rata-rata pembalap MotoGP lainnya, biasa membayangkan situasi balapan secara cermat sembari membetot gas atau rebahan. Dengan demikian, keunggulannya dalam balapan terhadap pembalap lain seringkali bukan disebabkan oleh keunggulan relatif motornya. Terkadang motornya setara atau sedikit lebih inferior dari motor rival-rivalnya. Namun ia mampu memenangkan balapn berbekal eksekusi gameplan yang apik dan mind game yang ciamik.
Dalam lintasan balap keuntungan itu dapat dilihat dalam berbagai bentuk. Bisa kita lihat misalnya, Rossi mampu melewati beberapa pembalap hanya dalam satu lap. Atau yang bikin lebih geleng-geleng lagi, terkadang ia melewati 2-3 pembalap MotoGP hanya dalam beberapa tikungan yang berurutan.
Melewati pembalap lain harus dibedakan dari memperpanjang jarak. Kompleksitas teknis dan mental sangat rumit sehingga seringkali kita temukan pembalap bisa dengan cepat menyusul pembalap lain, namun struggling untuk melewatinya. Untuk aspek ini, Rossi tidak mengalami kesulitan berarti, malah boleh dibilang dialah ahlinya.
Keuntungan lain dapat terlihat saat Rossi memenangkan balap secara tipis di akhir balapan. Atau saat Rossi terlihat bertarung ketat di pertengahan balap, lalu tiba-tiba ngacir tak terkejar saat balapan kurang dari 5 putaran. Semua itu bukan kebetulan, sebab Rossi sudah merancang  dalam kontruksi mental yang kita sebut game plan tadi.
Pertama-tama Rossi misalnya mengajak pembalap lain beradu drag dan salip-salipan. Semua itu sengaja dilakukan untuk menghabisi ban lawannya. Lalu di akhir balapan, lawannya keteteran dan tertinggal. Bagi yang mampu bertahan dengan kondisi bannya, Rossi tinggal  adu “stang” dalam pengertian menaikkan level pertarungan pada akhir balapan. Tidak jarang Rossi menang di 1-2 tikungan akhir setelah salip-salipan di sepanjang 2 lap sebelumnya.
Lalu bagaimana dengan Stoner? Well well, pembalap ini mungkin salah satu pembalap dengan talent yang paling unik di MotoGP. Dua hal yang harus dicatat dari keunikan ini adalah kemampuan agresif dan optimalisasi.
Fitur utama dari agresifitas Stoner berada pada caranya bekerja pada setiap tikungan di balapan. Stoner mungkin satu-satunya pembalap yang menikung sangat tajam dan miring dengan cara yang sulit dijelaskan. Gayanya jelas jauh dari balap textbook seperti Rossi juga sebelumnya untuk dimensi yang berbeda. Gayanya ini merupakan suatu mekanisme instingtif yang bisa membuatnya very fast-in-steady out.
Anda bisa melihatnya sliding saat mulai masuk tikungan. Seakan-akan tak terkontrol, miring dan mengerem. Lalu tiba-tiba motornya sudah tegak dan tancap gas. Sesaat kemudian masuk tikungan lagi, sliding-miring-ngegas dan sliding kembali. Sungguh sebuah akrobatik yang membuat kita bisa ternganga. Anda tidak salah. Para pembalap di MotoGP sekalipun tidak jarang terkagum-kagum dan kesulitan kata menjelaskan fenomena balap yang dikembangkan Stoner.
Kelebihan ini memberi keuntungan tersendiri bagi Stoner terhadap rival-rivalnya. Stoner bisa membalap dengan cepat melewati pembalap-pembalap lain. Membuat mereka terperanjat, lalu terhipnotis dengan agresivitasnya. Dalam 2-3 lap lap itu, Stoner sudah memimpin di atas 5 detik. Betapa sulit membayangkan ada pembalap yang bisa sebegitu cepat dan konfiden hanya dalam beberapa lap. Dan saat ban mampu bertahan, anda akan melihat Stoner tak terkejar dari garis start hingga finish, tanpa sekalipun disalip.
Kelebihan lain the Aussie ini adalah kemampuannya melakukan optimalisasi. Berbeda dengan pembalap lain yang analitis seperti Rossi dengan game plan dan mind gamenya, Stoner adalah pembalap yang tidak peduli sebaik apa settingan dan kondisi motornya. Ia akan fight dan dog-fight dengan kondisi yang ada. Kita tidak akan pernah melihat Stoner kedodoran dengan motor manapun–saat kondisinya sedang fit. Yang anda lihat adalah pembalap kencang yang sulit dilewati dan sangat kencang saat melewati. Tidak peduli motor yang dikendarainya  sedang sakit atau fit.
Kita bisa melihat di lintasan sebuah sirkuit bagaimana seorang Stoner seperti mengendarai banteng yang liar, tapi bisa finish jauh di depan lawannya. Tak ada pembalap yang sambil bergulat dengan tungganganya, juga memenangkan pergulatan dengan pembalap lain.
Kemampuan optimalisasi tunggangan ini jelas sangat jarang terlihat era MotoGP. Banyak pembalap lain, hanya mengeluh pada tim dan mengalahkan diri mereka sendiri sebelum bertarung. Mentalitas Stoner unik bersama gaya balap yang unik pula. Inilah membawanya mampu menaklukkan banteng Ducati, sesuatu yang gagal dicapai oleh banyak nama-nama besar MotoGP.
Nah, sekarang mari kita bandingkan keduanya. Kelebihan Rossi dan Stoner berbeda dan sama-sama unik. Skill dan bakat yang berbeda tersebut telah memberi prestasi dan reputasi yang tak terperikan di dunia balap prototype. Tampaknya keduanya memiliki kemampuan yang setara meskipun berasal dari skill dan bakat yang berbeda.
Sekarang mari kita bertanya, siapa di antara keduanya yang lebih intimidatif layaknya aliens yang bukan hanya menguasai, namun juga menyiksa? Jika pertanyaannya begitu, mari kita simpulkan  dua hal dari penjelasan panjang di atas.
Dari segi kemampuan dog-fight, Rossi mampu memainkan ritme dan ketegangan balapan untuk memaksa pembalap lain berbuat kesalahan. Sesuatu yang melebihi teknik semata. Sementara dari segi cara mendominasi, Stoner kelihatan lebih unggul dengan kemampuannya melepaskan diri dan tak terkejar. Hanya saja Stoner memiliki kelebihan tersendiri mengingat seringkali hanya berbekal motor yang kurang kompetitif. Mentalitas dan skillnya lah  yang mampu melakuan showdown yang tak terbayangkan. Melakukannya sekali dua kali, mungkin anda menyebutnya kebetulan. Namun melakukannya berkali-kali, anda akan menyebutnya sebuah art of scary riding yang tak ada duanya.
So, sekarang siapa yang lebih aliens, anyone?

0 komentar:

Post a Comment